Powered By Blogger

Senin, 28 September 2009

Sebuah Kisah Tentang Korupsi

Di tulis Oleh: Budiman Tanuredjo

Burung kenari berkekah
Berkekah di tengah padang
Jika tidak berani menjarah
Tiada syah menjadi hulubalang


Penggalan Puisi itu dibawakan Budi Darma, seorang sastrawan dalam diskusi di harian Kompas tahun 2003, di mana saya ikut hadir. Diterangkanlah makna puisi itu bahwa untuk menjadi hulubalang waktu itu, seseorang harus berani menjarah. Dan untuk mempertahankan jabatan nya, orang itu harus berani menjarah, menjarah uang negara dan menjarah uang rakyat.
Melacak jejak korupsi di Bumi Nusantara juga bisa dilihat dalam penuturan Budi Darma ke masa kolonial. Ia mengutip pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai timur Laut jawa, Dalam memori nya 15 April 1805. Berdasarkan pengisahan Dukut Iman Widodo, Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard kaya raya karena sogokan orang pribumi yang menginginkan jabatan. Engelhard tinggal memilih upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak di beri jabatan.
Pendapat bahwa korupsi menjadi bagian dari keseharian menimbulkan silang pendapat. Ada yang menolak, tetapi ada pula yang mendukung. Wakil Presiden Mohammad Hatta termasuk yang mendukung pendapat korupsi telah menjadi bagian keseharian kita. "Korupsi Di Indonesia telah menjadi bagian dari kebudayaan,"kata Hatta (Jurnal Aksara, Tempo, 19 Februari 2001).
Penulis buku yang populer di Indonesia, Samuel P Huntington, mengaitkan antara budaya dan korupsi. Bersama Lawrence E Harrison dalam buku Culture Matters: How Values Shape Progress (2000), Huntington menulis, "...Di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika..."
Huntington menulis korupsi paling rendah di negara eropa bagian utara dan persemakmuran Inggris yang protesan. Negara penganut Konghucu kebanyakan berada di tengah - tengah. Tapi Huntington mengecualikan Singapura sebagai negara yang bersih sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia. " Anomalia Singapura adalah Kepemimpinan Lee Kuan Yew,"tulis Huntington.
Di Indonesia, Ada keinginan kuat memberantas korupsi, tetapi ada juga yang sebenarnya ingin tetap mempertahankan tata hubungan sosial yang korup. Namun nyatanya, kekuasaan Orde Baru Berakhir karena korupsi. Era reformasi datang. Di jalan - jalan dan diruang sidang parlemen, 10 tahun lalu, terdengar teriakan, "Hukum mati koruptor!" perlu aturan soal pembuktian terbaik! Dari gedung MPR lahir Ketetapan MPR No. XI/1998 yang salah satu nya meminta pengusutan terhadap koruptor dan mewajibkan penyelenggara negara melaporkan kekayaan Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) lahir sebagai anak kandung reformasi.
Kehadiran KPK amat diharapkan . KPK lahir karena ada ketidakpercayaan kepada lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kebijaksanan. KPK menggebrak. Ada mantan Kepala Polri diadili, ada politisi tertangkap basah, ada jaksa tertangkap tangan sedang memperdagangkan perkara. Jurus KPK membuat banyak pihak jengah. Namun, indeks korupsi Indonesia membaik. Pemberantasan korupsi adalah pencapaian signifikan pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, karena gebrakan KPK itu pulalah, KPK kini menjadi musuh bersama. Ia di serang . Pengadilan korupsi dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sampai 19 Desember 2009. DPR dan Pemerintah berkewajiban memberikan landasan hukum soal pengadilan korupsi. Namun, alih - alih hukum memperkuat eksistensi pengadilan korupsi, politisi DPR dengan dalih "menata sistem " malah berniat mengamputasi kewenangan KPK, melucuti kewenangan penuntutan.
Teriakan hukum mati koruptor tak lagi terdengar. Dari senayan kini malah terdengar teriakan," kembalikan kewenangan penuntutan kepada kejaksaan". "Penyadapan harus izin ketua pengadilan". "Janganlah KPK merasa paling jujur".
KPK dirudung masalah. Ketua KPK Antasari Azhar segera menjadi terdakwa. Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri atas tuduhan penyalahgunaan wewenang ketika mencekal Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra. Kedua nya Buronan!. Publik ragu atas tuduhan itu. Namun, menjadi kewajiban Polri untuk membuktikan tuduhan nya. Jika gagal, reputasi Polri yang lagi naik karena pemberantasan terorisme akan hancur.
Korupsi adalah perang yang belum mampu kita menangi. Ia telah menjadi sesuatu yang banal, sesuatu yang biasa. Tidak ada kondisi sosial yang cenderung melawan korupsi (indignation), dimana masyarakat tidak bisa menerima atau protes terhadap perilaku korupsi pejabat yang menumpuk kekayaan secara ilegal.
Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan kekuasaan menggambarkan situasi indignation seperti saat setelah Revolusi Perancis. Di sana, para bangsawan, orang kaya tidak berani menunjukan diri mereka kaya. Mereka takut dikejar - kejar rakyat karena di anggap pengisap rakyat, Koruptor, dan menyalahgunakan kekayaan negara.
Sebagaimana ditulis Huntington, jika korupsi diterima sebagai budaya atau terkait dengan budaya, maka faktor kepemimpinanlah yang akan menentukan. Kepemimpinan yang kokoh, dan kondisi sosial yang melawan korupsi, bisa menjadi bekal perang melawan korupsi. Perkembangan sepekan ke depan akan mengindikasikan apakah kita sedang dalam arus balik pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar